Thursday, March 22, 2007

FULLDAY SCHOOL, HARUS PROPORSIONAL SESUAI JENJANG DAN JENIS SEKOLAH

Konsep fullday school semula berangkat dari sebuah kebutuhan masyarakat (katakanlah masyarakat perkotaan) yang memiliki tingkat mobilitas yang sangat tinggi. Orang tua meninggalkan rumah untuk bekerja pukul 6 pagi dan kembali ke rumah menjelang malam hari. Para orang tua bekerja selama 5 hari per minggu dan mereka libur (week end) pada hari sabtu dan minggu. Sementara anak-anak berangkat sekolah pukul 6.30 pagi dan pulang pukul 13.00 siang. Mereka sekolah 6 hari dalam seminggu yaitu senin-sabtu.

Kondisi yang demikian ini maka membuat mereka (orang tua dan anak) memiliki waktu yang sangat sedikit untuk berkumpul. Orang tua sedikit sekali waktunya untuk memperhatikan anak-anaknya dirumah, kasih sayang atau perhatian yang diterima anak dari orang tua akan sangat dirasakan kurang.

Pada tahapan berikutnya bermunculan sekolah-sekolah yang menawarkan pola sekolah fullday school, dimana mereka menggabungkan antara waktu belajar dan waktu bermain anak di sekolah selama 5 hari per minggu. Sehingga orang tua dan anak sebagai keluarga dapat bertemu bersama-sama selama 2 hari sabtu-minggu atau yang seringkali disebut week end.

Sementara itu para guru/instruktur akan menggunakan waktu week end-nya untuk memperkaya pengetahuan, keterampilan dan sebangsanya termasuk mempersiapkan materi dan membuat media-media pembelajaran untuk minggu berikutnya.

Konsep fullday school akhir-akhir ini mulai berkembang di Indonesia, dan telah dilaksanakan di banyak sekolah. Namun demikian ada yang memang benar-benar menerapkan konsep ini sesuai dengan seharusnya, dimana sekolah melengkapi dirinya dengan berbagai fasilitas dan isi atau program (content) di dalam sekolah sedemikian rupa, sehingga menjadikan anak merasa enjoy berada disekolah, tanpa harus kehilangan waktu-waktu untuk bermainnya. Akan tetapi ada juga sekolah-sekolah yang Cuma ikut-ikutan trend atau sekedar gengsi atau bahkan karena mengikuti program yang dicanangkan oleh pemerintah, tanpa memperhatikan kesiapan dari berbagai komponen yang ada di sekolah.

Bagaimana seharusnya ?

Penerapan fullday school harus memperhatikan juga jenjang dan jenis pendidikan, selain kesiapan fasilitas, kesiapan seluruh komponen di sekolah, kesiapan program-program pendidikan. Seperti kita ketahui bahwa di Indonesia jenjang pendidikan formal dibagi menjadi :

Ø Padu (pendidikan usia dini) / Play Group, diperuntukkan bagi anak-anak usia dini yaitu 3-4 tahun;

Ø TK (Taman Kanak-Kanak), diperuntukkan bagi anak usia 4-6 tahun;

Ø SD (Sekolah Dasar), diperuntukkan bagi anak usia 7-12 tahun;

Ø SLTP (Sekolah Menengah Pertama), bagi anak usia 13-15 tahun;

Ø SLTA (Menengah Atas), bagi anak usia 15-18 tahun.

kemudian jika dilihat dari pengelolaannya maka ada sekolah yang dikelola oleh Depdiknas dan sekolah yang dikelola oleh Departemen Agama seperti Salafiah, Madrasah Iptidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah. Sekolah-sekolah ini jelas memiliki ciri khas yang beda dengan sekolah umum/Diknas, antara lain pada prosentase muatan pendidikan agama serta kultur di sekolah.

Selain itu jika dilihat dari jenis sekolah maka dikenal ada sekolah umum dan ada sekolah kejuruan (vocational), seperti MAK (Madrasah Aliyah Kejuruan) dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), yang masing-masing juga memiliki ciri khas, misi, tuntutan dan iklim yang berbeda satu sama lain.

Jika melihat pada tingkatan life skill maka pada setiap jenjang dan jenis sekolah tentu berbeda orientasinya. Pada jenjang pendidikan usia dini sampai Taman Kanak-kanak bertujuan membentuk pribadi anak untuk mengenal dirinya (who am I) yang selanjutnya disebut Personal Skill, kemudian pada tingkatan Sekolah Dasar dan Menengah Pertama bertujuan untuk membentuk pribadi yang mampu mengenal potensi diri dan lingkungannya (Social Skill), sedangkan pada tingkat Sekolah Menengah Umum (SMA) adalah membentuk pribadi yang mamiliki kecerdasan intelektual, pengetahuan dan lain sebagainya (Academic Skill), serta untuk Sekolah Kejuruan (SMK) tuntutannya adalah pada Keterampilan Kejuruan (Vocational Skill).

Atas dasar perbedaan jenjang dan jenis pendidikan diatas, maka sudah seharusnya penerapan konsep fullday school memperhatikan perbedaan-perbedaan tersebut. Anak-anak usia SD dan SMP adalah usia-usia dimana porsi bermain tentu lebih banyak dari pada belajar. Maka ”bermain dan belajar” akan sangat cocok bagi mereka. Jangan sampai konsep fullday school merampas masa-masa bermain mereka, masa-masa dimana mereka harus belajar berinteraksi dengan sesama, berinteraksi dengan orang tua, berinteraksi dengan sanak saudara dan handai tolan, serta berinteraksi dengan lingkungan disekitar tampat tinggalnya. Jangan sampai fullday school menjadikan meraka tidak mengenal anak-anak sebayanya di sekitar rumahnya, jangan sampai manjadikan anak tidak mengenal paman, bibi dan lain sebagainya disekitar keluarganya. Karena mereka harus berada di sekolah sejak 6.30 pagi sampai 14.00 sore, bahkan jika jarak atara sekolah dan rumah cukup jauh maka mereka sampai rumah sudah menjelang magrib.

Akan sangat salah jika waktu disekolah dihabiskan penuh untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya intrakurikuler, dimana anak harus belajar dengan menerima penjelasan-penjelasan, mengerjakan tugas-tugas dari sang guru di dalam kelas, di dalam laboratorium, di perpstakaan dan tempat lain di sekolah yang sebenarnya sangat tidak kondusif untuk kegiatan anak bermain dan belajar. (”karena dipaksakan”).

Ada penelitian yang mengatakan bahwa waktu belajar efektif bagi anak itu hanya 3-4 jam sehari (dalam suasana formal), dan 7-8 jam sehari (dalam suasana informal). Artinya jika sekolah menerapkan fullday school maka sebagian waktunya harus digunakan untuk program-program pembelajaran yang suasananya informal, tidak kaku, menyenangkan bagi siswa, yang tentunya ini memerlukan kreatifitas dan inovasi dari seorang guru. Pertanyaannya yang muncul adalah apakah gurunya siap dan memiliki waktu cukup untuk mengekplorasi dan berinovasi serta membuat persiapan-persiapan mengajarnya jika seorang guru harus mengajar 25-35 jam per minggu. Berangkat petang dan pulang petang lagi, sementara di rumah anak dan keluarganya juga menunggu belaian kasih sayang sebagai orang tua, belum lagi tingkat kesejahteraan yang masih dirasa jauh dari ukuran ideal kebutuah saat ini.

Penerapan konsep fullday school tentunya berbeda lagi untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tentu akan sangat beda lagi untuk yang berjenis Sekolah Kejuruan (SMK). Siswa SMA dituntut untuk memiliki Academic Skill, maka fullday school harus banyak digunakan untuk mengekplorasi atau membuktikan teori-teori yang telah mereka pelajari, sehingga mereka akan memiliki tingkat pengetahuan akademik yang tinggi dan siap untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi.

Khusus pada Sekolah Kejuruan (SMK/MAK) akan sangat bagus jika fullday school dimanfaatkan untuk mengaplikasikan keterampilan-keterampilan yang telah dipelajarinya dalam kegiatan-kegiaran produktif yang nyata, atau belajar bekerja (magang) ataupun bekerja pada institusi-institusi/industri-industri sesuai Program Keahliannya, atau berwirausaha sesuai dengan tingkat keterampilannya, sehingga mereka nanti siap memasuki dunia kerja atau berwirausaha.

Dalam kenyataannya tidak sedikit siswa Sekolah Kejuruan yang telah bekerja (bekerja dan bersekolah), yang tentunya ini memang sangat diharapkan sesuai dengan arah dan kebijakan pengembangan kurikulum SMK, mulai dari Competency Base Teaching pembelajaran dengan memperhatikan kemampuan/kompetensi masing-masing anak didik, Link and Match pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri, Multi Entry Multi Exit peserta diklat dapat belajar sambil bekerja atau mengambil program pada jenis dan jenjang yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh (pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003).

Bagi SMA tingkat keberhasilannya adalah diukur dari seberapa besar siswanya yang dapat memasuki Perguruan Tinggi ternama, baik negeri atau swasta. Sedangkan bagi SMK keberhasilannya adalah diukur dari seberapa besar siswanya dapat memasuki dunia industri/dunia usaha sesuai dengan Program Keahliannya, serta seberapa besar siswanya yang dapat membuka usaha sendiri/berwirausaha sesuai dengan tingkat keahliannya.

Ada sebagian dari sekian sekolah yang telah menerapkan konsep fullday school terkesan dipaksakan dengan tanpa memperhatikan kesiapan-kesiapan seluruh komponen pendidikan di sekolah, mulai dari sarana prasarana, kesiapan guru, staff, karyawan, sampai pada kesiapan program-program (content) dari fullday sechool itu sendiri. Tentu ini dengan berbagai alasan, karena kebijakan otoritas pendidikan, karena ikut-ikutan trend, sampai pada orientasi sebuah proyek pengembangan pendidikan.

Ditambah lagi dengan dijadikannya hari sabtu sebagai student day, dimana pada hari itu dimaksudkan agar digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya ekstrakurikuler, namun belum disiapkan bagaimana pengelolaannya pada hari itu. Tidak diperhitungkan secara matang, ketersediaan program-program ekstrakurikuler, ketersediaan pembina, pelatih, lahan dan lain sebagainya. Jika jumlah siswa dalam skala kecil misal puluhan orang tentu tidak akan menimbulkan masalah, namun jika sekolah tersebut adalah sekolah besar bahkan sebuah ”sekolah terpadu” yang aslinya tidak seluruh siswa mengikuti program ekstrakurikuler. Tentu akan menjadi masalah besar atau keruwetan jika kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler ”dipaksakan” dilaksanakan dalam satu hari sabtu (student day), karena kenyataan yang ada satu siswa (”karena aktivis”) mengikuti beberapa kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Dan sebaliknya ada banyak siswa yang tidak pernah dan tidak terbiasa mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra.

Tentu hal yang demikian akan sangat fatal bagi sebuah investasi pendidikan, pendidikan adalah investasi jangka panjang, proses pendidikan di sekolah tidak sekedar mengejar Lulus UNAS (Ujian Nasional). Akan lebih salah lagi jika fullday school dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan latihan mengerjakan soal-soal UNAS atau pembahasan soal-soal UNAS dengan tujuan agar siswanya mendapatkan Nilai baik (Lulus) pada UNAS yang akan datang. Nilai UNAS bukanlah merupakan tujuan pendidikan. Sudah tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

No comments: